Pada dasarnya, aktifitas setiap orang itu berkisar pada tiga komponen utama, yaitu; batin (batin, yang berupa niat dan keyakinan), lisan (ucapan), dan sejumlah anggota tubuh (aksi atau amalan perbuatan). Hanya saja, terkadang niat bisa menjadi suatu amalan (ibadah) tersendiri, sementara yang lain pasti melibatkan niat dan tidak bisa lepas dirinya. Maka dari itu, dalam sebuah hadist disebutkan, niat seorang mukmin jauh lebih utama (penting) dari pada perbuatan yang akan dilakukannya.
Karena niat mampu menggerakan, sekaligus menentukan gerak langkah anggota seluruh tubuh untuk melakukan sesuatu, baik itu yang terpuji maupun yang tercela. Semuanya berjalan atas perintah dan intruksi yang diberikan hati tersebut. Hal ini bisa dipahami, karena niat merupakan faktor pendorong atas sukses dan tidaknya perbuatan apapun. Seseorang bisa serius dan tidak adalah sangat berpengaruh oleh sebuah hati. Demikian juga, rajin dan malasnya seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan sangat bergantung pada seberapa kuat niat (motifasi) yang dimiliki. Apapun kondisi dan rintangannya, bila niatnya telah kuat dan mantap, maka segalanya akan bisa terselesaikan dengan mudah. Maka dalam Islam, seorang yang telah berniat (bertekad kuat) untuk menjalankan suatu ibadah, namun tidak terlaksana karena suatu hal, maka ia masih tetap terhuitung mendapatkan suatu kebaikan (pahala) yang sempurna. Karena niat merupakan pusat lurus-bengkoknya suatu amal perbuatan, di samping sebagai faktor penentu sah dan tidaknya suatu ibadah. Di mana bila niatnya itu baik dan benar, maka pelaksanaan ibadahnya pun akan menjadi sah dan benar. Demikian juga, bila niatnya itu kacau dan menyimpang, maka amalan dan perbuatannya pun akan menjadi amburadul.
Maka dari itu juga, niat diterapkan untuk menentukan apakah itu bernilai ibadah atau tidak. Dan dengan niat pula sebuah aktifitas bisa dikategorikan sebagai ibada yang berpahala, atau hanya sekedar perbuatan biasa. Contohnya, orang yang sedang masuk mesjid dan berdiam di dalamnya. Maka orang tersebut bisa jadi hanya duduk-duduk beristirahat, sehingga yang didapat adalah sekedar melepaskan kelelahan. Berbeda kalau misalnya, ketika masuk mesjid ia berniat i’tikaf, maka diamnya telah masuk kategori ibadah yang berpahala. Contoh lain, mandi di hari jum’at; apakah ia bertujuan hanya untuk menyegarkan badan, yang berarti hanya amalan biasa; atau disertai niat untuk melaksanakan fadilah (keutamaan) di hari jum’at, sehingga ia meraih kesunnatan ibadah jum’at yang berpahala tentunta.
Di samping itu, niat juga diperuntukan untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lainnya. Contohnya, seorang yang sedang melaksanakan shalat dua raka’at. Maka hanya dengan niat bisa diketahui, bahwa orang tersebut sedang melaksanakan shalat rawatib (shalat yang mengikuti shalat fardu, baik itu sebelum atau sesudahnya), atau sedang shalat sunnah lain.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa hanya melalui niatlah ia bisa menentukan kwalitas amal perbuatan seseorang. Dan sebesar itu kekuatan hati (niat) dalam mendorong anggota sekujur badan untuk mengerjakan ibadah dan amal shaleh lainnya. Maka dari itu, kita selalu berdo’a semoga hati kita tetap bekerja dengan aktif, sehingga akan lebih bersemangat untuk beramal lebih banyak lagi.
No comments:
Post a Comment