Dalam Islam, segala syariat dan perbuatan seseorang berpusat pada niat. Makanya, baik itu Iman, Islam, dan Ihsan tidak terlepas dari keberadaan hati manusia. Sehingga sangat tepat bila para ulama menempatkan posisi niat ini pada posisi yang sangat penting dalam kelangsungan ibadah dan amal perbuatan seseorang.
Dari segi bahasa, niat berarti penyengaja. Niat juga sering diartingan sebagai keinginan hati untuk menjalankan suatu aktivitas tertentu, sesuai dengan motif yang diinginkan, baik itu untuk memperoleh kebaikan ataupun menghindari kemunkaran. Dalam pengertian yang lebih spesifik, niat berarti sebuah keinginan kuat untuk mengerjakan sesuatu aktivitas tertentu dalam rangka mencari ridha Allah Swt, dan untuk memenuhi panggilan dan perintah-Nya.
Niat adalah qasdu syai’an mukhtaranan bi fi’lihi yang berarti niat adalah berkehendak kepada sesuatu hal atau pekerjaan dengan diiringi melakukannya. Istilah niat juga dapat diartikan maksud mengerjakan sesuatu disertai dengan perbuatan atau pekerjaan, seperti niat shalat disertai dengan takbiratul ihram. Niat mempunyai fungsi utama di dalam ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak syah ibadah yang tidak disertai dengan niat. Apabila ibadah tersebut tidak disertai niat itu akan sia-sia.
Lafadz niat yang tercantum dalam firman Allah Swt (yang digunakan dalam syariat) mengandung dua makna. Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian semacam ini sering digunakan ahli fiqih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu mereka menyebutkan syarat-syarat sautu ibadah.
Kedua, niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan) atau memurnikan hati, niat, dan amalan hanyalah kepada Allah SWT.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang dikerjakan. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Baraeng siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju.” (HR. Bukhari-Muslim)
Lebih lanjut dalam Islam niat mempunyai beberapa aspek (rukun), yakni:
- Diyakini dalam hati.
- Diucapkan dalam lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu orang lain atau bahkan menjadi riya).
- Dilakukan dengan amal perbuatan.
Jadi niat akan lebih kuat bila tiga aspek di atas dilakukan semuanya, sebagai contoh ketika berniat shalat, lisannya mengucapkan untuk shalat dan tubuhnya melakukan amal shalat. Demikian pula apabila kita mengimani segala sesuatu itu haruslah dengan hati yang yakin, ucapan, dan tindakan yang selaras.
Dengan definisi niat yang seperti ini diharapkan orang Islam itu tidak hanya sebatas omongan saja, karena dengan berniat berarti bersatu padunya antara hati, ucapan, dan perbuatan. Niat baiknya seorang muslim itu tentu saja akan keluar dari hati yang khusyu dan tawadhu, ucapan yang baik dan santun, serta tindakan yang dipikirkan masak-masak dan tidak tergesa-gesa serta cermat. Karena dikatakan dalam suatu Hadist Rasulullah Saw. apabila yang diucapkan lain dengan yang diperbuat termasuk cirri-ciri orang yang munafik.
Dengan demikian, bahwa seseorang yang hendak mengamalkan sesuatu, baik melaksanakan suatu perintah atau meninggalkan larangan – termasuk meraih kesuksesan – harus dilandasi dengan niat agar amalan tersebut benar. Maka nilai suatu amal atau usaha yang dikerjakan dalam meraih kesuksesan bergantung kepada adanya niat yang menentukan amalan tersebut apakah benar dan diterima serta mendapatkan ridha-Nya.
Dalam menafsirkan hadist tersebut di atas para ulama berbeda pendapat. Pendapat-pendapat tersebut antara lain: pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari hadis tersebut adalah keabsyahan dan diterimanya suatu amalan – sehingga mendapatkan ridha Ilahi – adalah karena niat yang dilandasinya, sehingga hadist nabi tersebut sangat berkaitan dengan keabsahan suatu amal perbuatan. Selanjutnya seseorang – yang melakukan amalan tersebut – akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesui dengan niat yang melandasi amalnya.
Pendapat kedua, mengatakan bahwa hadist tersebut menerangkan sebab terjadinya suatu amalan adalah dengan niat, karena segala amalan yang dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah niat. Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan yang baik maupunh yang buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Apabila hati ingin melakukan sesuatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada, maka amlan tersebut akan terlaksanan dengan sebab adanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan tersebut. Dan hadis tersebut memiliki kandungan bahwa ganjaran (pahala) akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila niatnya benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih dan tentunya mendapatkan ridha Allah Swt.
Dari kedua pendapat di atas pada perinsipnya sama, karena memposisikan niat sebagai sesuatu yang sangat menentukan terhadap suatu perbuatan dan juga hasilnya. Dengan demikian bahwa niat merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan daripada suatu perbuatan manusia itu sendiri. Dengan niat yang kuat dan suci, maka amalan atau perbuatan seseorang akan menuai hasilnya dan hasilnya tersebut akan suci pula.
No comments:
Post a Comment